Kamis, 01 Agustus 2013
AGAMA DAN ETOS
KERJA
(Peran dan Fungsi Agama
dalam Meningkatkan Produktivitas Kerja)
Oleh
M a w a r d i, M.Si[1]
Abstrak
Artikel
ini menjelaskan fungsi agama sebagai motivator utama dalam meningkatkan
produktivitas kerja bagi penganutnya. Dalam realitas sosial, agama inherent
dengan prilaku dan perubahan sosial budaya masyarakat. Weber dalam tesisnya
mengungkapkan secara faktual bahwa agama berperan sebagai element terpenting
dalam menumbuh-kembangkan etos dan produktivitas kerja manusia. Lalu kalau
dikaitkan dengan doktrin teologi Islam di Indonesia, apakah ia mampu
menciptakan hal yang demikian? Secara teoretis, nilai moral doktrin Islam
sangat at-home dengan perubahan pembangunan nasional, tetapi secara praktis
cerminan aktualnya masih menemukan kendala yang cukup signifikan. Internalisasi
doktrin Islam mesti dilakukan secara komprehensif. Teologi fatalistic
harus
dirubah ke arah teologi pembebasan dengan tetap mengacu pada prinsip tauhid.
“teologi” kerja dalam Islam harus menjadikan Islam sebagai motivator
tunggal. A. Pendahuluan
Agama
diyakini oleh pemeluknya sebagai sistem kepercayaan (belief system) yang
disamping memiliki otoritas Ketuhanan (divine authority), juga
didalamnya terdapat sistem nilai (value system) yang mengetengahkan
panduan dasar dalam kehidupan. Dengan kata lain, agama merupakan panduan hidup
(way of life, weltanschauung). Karenanya, adalah logis bagi para
pemeluk agama senantiasa mendasarkan segala aktivitas kehidupannya kepada
otoritas agama.
Namun
demikian, tidak jarang pula ditemukan bahwa fungsionalisasi agama dalam bentuk
empirik (das sollen) mengalami perbedaan menyolok dengan maksud agung yang
tertuang dalam teks kitab suci (das sein). Salah satu yang menarik
diamati adalah peran agama dalam memobilisasi pemeluknya terhadap peran
aktualnya sebagai penyelenggara pesan Tuhan di muka bumi. Lebih khusus lagi
sejauh mana peran agama menjadi motivator bagi pemeluknya dalam upaya
memperbaiki taraf hidup di dunia. Seringkali terjadi pemahaman dikotomi, dimana
kerja dipandang terpisah dengan dimensi spiritual keagamaan. Akibatnya ruang
aktivitas keduniaan menjadi kering dari nilai-nilai fundamental Ketuhanan,
sebagaimana tertuang dalam butir-butir teks kitab suci.
Tulisan
ini membahas fungsionalisasi agama sebagai motivator utama bagi pemeluknya
dalam meningkatkan produktivitas kerja. Dapatkah agama berperan demikian ?
Bagaimana menjadikan agama sebagai sumber motivasi dalam bekerja dan
berprestasi ? Akhirnya bagaimana jika dihubungkan dengan wajah aktualnya di
bumi Indonesia, sejauhmana peran agama menjadi balai substansial dalam
meningkatkan etos kerja dalam membangun “peradaban” Indonesia ? Inilah beberapa
point yang menjadi main discourse dalam tulisan berikut ini.
B. Relasi Positif Motivasi dengan Produktivitas[2] Kerja
Motivasi
berasal dari bahasa Inggris, motivation.[3]
Untuk menangkap pemahaman kata tersebut lebih indah kalau berangkat dari bentuk
kata dasarnya to motivate yang memiliki dua makna, yaitu :
1.
To
be the reason for somebody’s action : to cause somebody to act in a particular
way
(menjadikan alasan bagi tindakan seseorang, menyebabkan seseorang bertindak
dalam langkah tertentu).
2.
To
stimulate the interest of somebody ; to cause somebody want to do something (merangsang
keinginan seseorang, menyebabkan berkeinginan untuk melakukan sesuatu).
Sedangkan
menurut Kamus Bahasa Indonesia, motivasi berarti :
1.
Dorongan
yang timbul dari seseorang, sadar atau tidak sadar untuk melakukan satu
tindakan dengan tujuan tertentu.
2.
Usaha-usaha
yang dapat menyebabkan seseorang atau sekelompok orang bergerak untuk melakukan
sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki, atau mendapatkan
kepuasan dengan perbuatan.
Mencermati
pengertian-pengertian di atas memberikan gagasan bahwa motivasi merupakan
sebuah pra kondisi yang sangat menentukan proses kerja. Lebih tegas lagi,
motivasi adalah aktivitas yang mengarahkan maksimalisasi dimensi mental ke
dalam ruang aktual. Berelson dan Steiner menyebut motivasi sebagai keadaan internal
individu (si-pekerja) yang melahirkan kekuatan, kegairahan dan dinamika
serta mengarahkan tingkah laku pada tujuan yang ingin dicapai.[4]
Porter Lawler juga mendefinisikan motivasi sebagai proses perilaku yang
dibangkitkan, diarahkan dan dipertahankan selama berjalannya waktu.[5]
Dari
berbagai definisi di atas, M. Steers memberikan pandangan, bahwa dalam motivasi
itu terdapat tiga segi yang penting, yaitu : 1). Paham mengenai daya energi di
dalam diri individu yang “mendorong” mereka untuk berperilaku tertentu. 2).
Paham mengenai orientasi tujuan, yaitu perilaku yang diarahkan pada
tujuan-tujuan tertentu. 3). Orientasi sistem pada tinjauan motivasi tersebut.[6]
Di
samping itu, bahwa daya yang terdapat dalam diri pribadi seseorang maupun lingkungan luarnya berumpan balik
individu menguatkan cara bertindaknya saat itu atau menyebabkan diambilnya
alternatif cara bertindak yang lainnya. Agaknya, Steers ingin mengatakan bahwa
motivasi merupakan dorongan yang berada dari dalam diri seseorang individu.
Tetapi dorongan itu dapat menjadi besar manakala konteks lingkungan memberikan
pengaruh timbal balik antara keduanya. Jadi, yang terpenting, bukan saja menghasilkan tindakan
baru, melainkan juga lahirnya beberapa alternatif baru dalam bertindak.
Gagasan
tersebut, adalah tepat seperti yang dikatakan oleh J. Ravianto, bahwa motivasi
berarti memberi energi (individu, pekerja) untuk pencapaian kebutuhan.[7]
Pencapaian kebutuhan merupakan “gelanggang perang” yang terus memberikan spirit
bagi manusia dalam mempertahankan eksistensinya, meminjam istilah Nurcholis
Madjid, mode of existence.[8]
Dengan rumusan ini semakin terang bahwa kondisi tersebut melahirkan motivasi
yang tinggi untuk memberikan jalan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup.
Dalam
kenyataannya, benar bahwa motivasi berperan signifikan dalam mengukur tingkat
kualitas kerja. David McClelland misalnya menetapkan bahwa dengan memberikan
ruang keterbukaan, kebersahajaan dan dorongan untuk maju kepada pekerja
ternyata memungkinkan seseorang (individu, pekerja) untuk meraih sukses
dalam sistem ekonomi apapun.[9]
Berangkat
dari sinilah McClelland merumuskan pandangannya tentang “achievement
motivation” yakni suatu motivasi prestasi yang didasarkan pada kekuatan
yang ada dan berada dalam diri manusia.[10]
Dengan kata lain, “seseorang (individu, pekerja) bisa dianggap mempunyai
motivasi prestasi yang tinggi, jika dia mempunyai keinginan untuk berprestasi
lebih baik dibanding yang lain”.[11]
Apa yang
ditegaskan oleh McClelland ini ternyata memiliki kesamaan visi dengan apa yang
diutarakan oleh Robert Sustainer. Menurutnya terdapat hubungan positif antara
motivasi tinggi dengan grafik kenaikan produktivitas kerja. Hal ini didasarkan
pada tiga argumen pokok, yaitu : 1). Produktivitas itu, sekitar 90% sangat
tergantung pada pekerja. Sisanya 10% amat tergantung pada teknologi dan bahan
baku yang digunakan. 2). Prestasi pekerja itu, antara 80-90% sangat tergantung
pada motivasinya dalam bekerja. 3). Motivasi pekerja itu, sekitar 50% sangat
tergantung pada kondisi sosial, dan 40%
tergantung pada kebutuhan serta sisanya 10% tergantung pada kondisi fisik.[12]
Dari
kenyataan tersebut jelas kelihatan bahwa motivasi kerja yang tinggi memberikan preseden
positif dalam meraih prestasi kerja. Dapat juga dikatakan bahwa motivasi kerja
yang tinggi merupakan modal pertama dan utama dalam rangka peningkatan mutu
prestasi, kualitas dan produktivitas kerja. Maka jika ingin sukses dalam
bekerja, motivasi untuk berprestasi harus menjadi sebuah kebutuhan, meminjam
istilah McClelland, “need of achievement”.
C. Motivasi : Antara tujuan yang profan dan Sakral
Tidak
dapat dipungkiri bahwa munculnya motivasi sangat erat kaitannya dengan derasnya
tingkat kebutuhan yang harus dipenuhi. Ada dua bentuk aktivitas manusia yang
timbul dari kebutuhan, yaitu pertama: aktivitas yang mengarah kepada tujuan (goal directed
activity). Kedua, aktivitas tujuan (goal activity).[13]
Skema berikut menggambarkan hubungan antara dorongan, tujuan dan perilaku,
yaitu [14]:
Dorongan Aktivitas terarah ke tujuan
Perilaku
|
Aktivitas
Tujuan
|
|
Tujuan
Kalau
yang pertama menunjukkan perilaku yang motivasinya mengarah kepada pencapaian
tujuan, maka yang terakhir ini lebih menekankan aktivitas yang terikat atau
melekat dengan tujuan itu sendiri. Motivasi kelompok pertama lebih tinggi
dibandingkan dengan motivasi pada kelompok terakhir. Karena, apabila telah
tercapai tujuan pada kelompok pertama, misalnya dalam keadaan lapar, maka
aktivitas makan adalah aktivitas tujuan, itu berarti motivasi makan tidak lagi
setinggi motivasinya ketika ia belum makan. Lain halnya motivasi di kelompok
terakhir, misalnya dalam keadaan lapar, maka tidak lain motivasinya adalah
bekerja yang menghasilkan bekal kekuatan untuk memperoleh makanan.
Menariknya,
terkesan ada pandangan bahwa jika kebutuhan telah terpenuhi, maka motivasi pun
akan berkurang. Atau sebaliknya, karena sesuatu itu bersifat kebutuhan, berarti
kebutuhan yang telah terpenuhi meniscayakan seseorang untuk meraih tingkat
kebutuhan lain, dan tentunya tidak akan pernah berhenti.
Disinilah
kita melihat meskipun motivasi merupakan prasyarat utama pencapaian prestasi
dalam pemenuhan kebutuhan hidup, tetapi hal itu justru menyiratkan kepada
pandangan-pandangan yang absurd. Mengapa tidak ? ternyata motivasi
berdiri di bawah landasannya yang rapuh dan tentative.
Apabila
motivasi itu hanya disibukkan dengan dorongan keduniaan dan temporal, bukan
tidak mungkin akan lahir kejenuhan dalam tingkat yang kritis. Allen mengatakan,
bahwa tidak jarang sumber motivasi mengalami keterbatasan dan kadaluarsa (out
of date), dan karenanya harus ditemukan sebuah paradigma yang lurus dan
kokoh dalam melahirkan motivasi.[15]
Oleh karenanya adalah relevan membicarakan dan menemukan motivasi yang tumbuh
dari sumber keyakinan agama yang lebih bersifat sakral dan sublimate.
Nilai-nilai
spiritual keagamaan, atau singkatnya Tuhan harus dijadikan sebagai causa
prima bagi lahirnya motivasi dalam bekerja dan berprestasi. Berbeda dengan
beberapa teori yang diuraikan sebelumnya, bahwa kesemuanya mendasarkan
kebutuhan manusia ke dalam pemilahan-pemilahan yang terkesan dikotomi dan
teralienasi dengan kebutuhan dasar manusia, yakni kebutuhan spiritual, maka
Islam menurut Nusair[16]
memberikan kepuasan yang seimbang dalam pencapaian kebutuhan manusia. Islam
tidak melakukan dikotomi antara kebutuhan-kebutuhan manusia, karena integritas
keduniaan secara serta merta merupakan entitas keakhiratan.
D. Agama sebagai Sumber Motivasi
ketika
kita membicarakan agama[17]
paling tidak terdapat dua definisi pokok, pertama pengertian substantif
(substantive definition). Kedua, pengertian fungsional (functional
definition). Pada tataran definisi pertama, membahas tentang what
religion is. It attempts to establish categories of religious content that
quality as religion and other categories specified as religion.
Bentuk
pertama ini cenderung menjelaskan agama secara intelektual, dalam batasan
ide-ide yang mendorong, menggerakkan dan mengilhami orang. Mereka mengatakan
bahwa orang bersifat religius, karena ide-ide tertentu mereka anggap benar dan
bernilai. Oleh karena itu orang merasa bahwa ide-ide ini harus diikuti dalam
rangka membentuk kehidupan mereka.
Berbeda
dengan definisi pertama yang lebih mengarah kepada pendekatan yang bersifat “interpretive”
(menafsirkan), definisi terakhir justru menitikberatkan kepada pemahaman yang
menggunakan pendekatan “explanatory” (menjelaskan). Agama dalam
pengertian fungsional emphasizes what religion does for the individual and
social group. Accordingly, religion is defined by the social functions it
fulfills. Di sinilah para teoritisi fungsional berusaha melihat ke bawah
atau di balik pemikiran yang sadar dari orang yang religius untuk menemukan
sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi. Geertz memberikan definisinya yang
berbunyi sebagai berikut : 1) Religius merupakan sebuah sistem simbol yang
berperan. 2) Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasive dan tahan
di dalam diri manusia dengan memakai cara (metode). 3) Merumuskan konsep
tatanan kehidupan yang umum. 4) Membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu
aura faktualitas, sehingga 5) Suasana hati dan motivasi tampak realistic
secara unik.[18]
Pengertian
fungsional memberikan pemahaman kepada kita bahwa agama juga merupakan suatu
realitas sosial, ia hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat. Dengan
kata lain, agama inherent dengan perilaku dan perubahan sosial-budaya
masyarakatnya.
Pembahasan
ini hanya membantu kita, bahwa ketika membicarakan agama maka dalam konteks
mana kita berbicara, apakah sebagai substantif atau fungsional? Pemahaman ini
menurut hemat penulis sangat penting untuk memposisikan eksistensi agama yang
dimaksud dalam kaitannya sebagai sumber motivasi.
Ringkasnya
apakah yang ditekankan di sini agama pada aspek dassollen (apa yang
seharusnya), ataukah pada tataran dassein (apa yang terjadi) ? Dalam
konteks tulisan ini yang dibicarakan adalah agama dalam pengertian yang
terakhir. Artinya, kita akan menangkap pesan realitas objektif fungsionalisasi
agama yang memiliki relevansi kuat terhadap lahirnya dinamika etos kerja.
Max
Weber (1864-1920) dalam karya monumentalnya, “the protestant ethic and the
spirit of capitalism” (1904-1905)[19]
berhasil memberikan “grand theory” dalam hubungan antara agama dan
kegiatan ekonomi. Dari judulnya dapat dipahami bahwa Weber mengatakan, etos
kerja sangat dipengaruhi oleh sumber nilai yang dimiliki oleh sekte-sekte
Protestantism. Peradaban Eropa, menurut Weber sangat dipengaruhi oleh etika
protestant. Sumbangan protestant merupakan bukti kuat bahwa ide kapitalisme
modern menemukan bentuknya secara nyata.
Dengan
lugas, Weber menyebutkan bahwa etika protestant merupakan peletak dasar
lahirnya ekonomi kapitalisme di Eropa Barat. Sejalan dengan dasar pemikiran
Weber yang meletakkan fungsionalisasi agama dalam proses perubahan. Bella juga
mengatakan bahwa hal yang sama terjadi bagi masyarakat Jepang, di mana etika “Agama
Tokugawa” turut serta mendorong tumbuhnya kapitalisme ekonomi di Jepang.[20]
Merespon
tesis Weber tersebut, jelas terdapat
ide-ide pro dan kontra.[21] Terlepas dari semua itu, thesis Weber
meneguhkan keyakinan kita bahwa agama ternyata berperan strategis dalam
melakukan perubahan-perubahan. Lebih khusus lagi, ternyata secara faktual,
agama berperan sebagai element terpenting dalam menumbuhkan kembangkan etos dan
produktivitas kerja manusia.
E. Cermin Etos Kerja Nasional
Meskipun
Nurcholish Madjid, menyatakan bahwa adalah sikap yang eksesif dengan menerapkan
Weberisme atas gejala di luar Eropa Barat,[22]
ketika etika agama Kong Hu Chu di pandang satu-satunya yang memberikan andil
besar atas kemajuan negara Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura
sehingga berhasil melahirkan NIC’s (Newly Industrializing Countries),
namun ia tidak membantah bahwa Indonesia yang memiliki penduduk mayoritas
muslim berikut ajaran Islamnya selayaknya yang pertama bertanggung jawab atas
usaha pembinaan dan pengembangan etos nasional.
Pendapat
senada juga dikatakan oleh Dawam Raharjo, apakah doktrin teologi Islam di
Indonesia, tidak atau kurang memiliki kemampuan untuk menciptakan etos kerja ?[23]
Begitu juga halnya pertanyaan yang diajukan oleh Bachtiar Effendi,[24]
mengapa komunitas dagang santri atau pribumi tidak mampu berkompetisi--kalau
tidak menggeser--posisi dominan komunitas dagang, misalnya Cina ?
Dalam
pikiran penulis, pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangatlah lumrah
diketengahkan, karena secara kontekstual masyarakat Indonesia mengalami
keterpurukan ekonomi, yang notabene menunjukkan rendahnya kualitas etos kerja
nasional. Pertanyaan berikutnya adalah tepatkah kalau teologi dominan di
Indonesia, yakni Islam dijadikan sebagai “kambing hitam” kegalauan tersebut ?[25]
Jawabnya
jelas tidak in toto demikian. Karena secara objektif keilmuan, belahan
bumi Indonesia di samping memiliki karakteristik wilayah dan pengaruh
sosio-ekonomi yang khas, juga terdapat banyak faktor yang perlu diuraikan dalam
menelaah kondisi realitas tersebut.
Lemahnya
semangat dan gairah kerja sebagian komunitas Islam yang lebih merupakan sesuatu
yang sifatnya socio-economically and politically determined. Walaupun
tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang dikatakan oleh Sayyed Hussein al-Attas,
bahwa bangsa pribumi sangat kental dengan pribadi yang malas, “the myth of
lazy native” (mitos pribumi malas).[26]
Bachtiar
Effendi dengan bijak menguraikan pandangannya bahwa jawaban dari stagnasi
ekonomi atau kurang berkembangnya dunia usaha kalangan Islam Indonesia terletak
di “wilayah lain”. Dengan kata lain, stagnasi itu bukan berada pada tataran
teologis (meskipun aspek ini perlu mendapat enlightment, pencerahan),
tetapi lebih pada konfigurasi struktur sosial-budaya, ekonomi dan politik yang
melingkupi mereka.
Walaupun
demikian, tetap dinyatakan bahwa untuk merumuskan agenda etos kerja nasional
yang berdasarkan kepada landasan etis keagamaan, maka sumbangan Islam sangat
dinantikan. Sebagai teologi terbesar di Indonesia, selayaknya kalangan muslim
memberikan andil terbaiknya sebagai anak bangsa yang siap membangun kualitas
kerjanya di Indonesia. Juga perlu ditekankan bahwa konsep berteologi-pun tidak
luput dari berbagai bentuk penjernihan.
Secara
teoritis, nilai moral ajaran Islam sangat at-home dengan
perubahan-perubahan pembangunan nasional. Tetapi secara praktis cerminan
aktualnya masih menemukan kendala yang signifikan. Oleh karena itu adalah
penting melakukan internalisasi ajaran Islam kepada pemeluknya dengan
pendekatan yang komprehensif. Teologi fatalistic harus diubah ke arah teologi
pembebasan yang menekankan kebebasan manusia dalam berikhtiar dengan tetap
mengacu kepada prinsip tauhid yang sebenar-benarnya.[27] Dengan kata lain, “teologi” kerja dalam Islam
harus menjadikan Islam sebagai motivator
tunggal,[28]
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Jumu’ah ayat 10.
فَإِذَا قُضِيَتْ الصلاةُ
فَانتَشِرُوا فِي اْلارْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
Ajakan
ini meneguhkan pandangan bahwa kerja adalah manifestasi dari ibadah. Artinya,
Islam menjadikan dunia kerja bukan saja sebagai bangunan relasi-sosial antar
manusia demi pemenuhan kebutuhan hidup, tetapi juga sebagai bentuk ideal dari
pengabdian diri (ibadah) kepada Allah Swt. Sejalan dengan itu, pandangan
Syed Hosein Nasr menguatkan kesimpulan kita bahwasanya kerja merupakan salah
satu bentuk ijtihad yang tak terpisahkan dari signifikansi religius-spiritual.[29]
F. Penutup
Kualitas
pekerja dimulai dengan perilaku yang baik (the quality worker begins with
the right attitude). Ungkapan ini menegaskan bahwa sikap yang mulia perlu
dibangun dalam aktivitas kerja. Sikap mulia merupakan dorongan internal yang
sepantasnya internalized dalam setiap pribadi. Disinilah dibutuhkan
ketajaman motivasi yang berbasis pada penghayatan keagamaan yang benar. Dengan
landasan motivasi kerja yang tangguh dan kokoh, maka produktivitas kerja akan
semakin meningkat. Agama secara nyata telah membuktikan kehandalannya sebagai
sumber motivasi terpenting dalam kehidupan, maka sangat dibutuhkan semangat religius
dalam menopang langgengnya bangunan motivasi yang seirama dengan proses kerja
yang dilakukan.
Dalam
konteks berteologi di Indonesia, maka Islam memiliki andil terbesar dalam
merumuskan agenda besar pembangunan etos nasional yang handal dalam menyikapi
laju pertumbuhan dan perkembangan global. Di sinilah diperlukan kesiagaan para
akademisi muslim untuk memberikan kontribusinya dalam mem-formulasikan ajakan
berteologi yang mengedepankan motivasi kerja yang tinggi di atas landasan moral
tauhid kepada Allah Swt. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Daftar Pustaka
Ahmad Kosasih, 1999, “Telaah Islam atas
Motivasi Kerja”, dalam Firdaus Efendi, Nilai dan Makna Kerja dalam Islam,
Jakarta : Nuansa Madani
AS Horby, 1995, Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English, Oxford : Oxford University Press
B. Berelson dan G. Steiner, 1964, Human
Behaviour : An Inventory of Scientific Findings, New York : Harcourt, Bruce
Bahtiar Effendy, 2001, Masyarakat Agama dan
Pluralisme Keagamaan ; Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani dan Etos
Kewirausahaan Yogyakarta : Galang Press
Clifford Geertz, 1973, “Religion as a Culture
System” dalam Clifford Geertz, Interpretation
of Cultures, Selected Essays, New York : Basic Books
David
Clelland, 1961, The Achieving Society, New York : The Free Press
David McClelland, et.al. 1953, The Achievement
Motive, New York : Appleton Century-Crofts
J. Ravianto, 1985, Produktivitas dan Manusia
Indonesia (Jakarta : Lembaga Sarana Informasi Usaha Produktivitas
Januar Muin, 1999, “Motivasi Kerja Sebagai
Modal Utama dalam Peningkatan Produktivitas Kerja”, dalam Firdaus Effendi,
et.al (Ed.), Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, Jakarta : Nuansa Madani
Louis A. Allen, 1963, The Profession of
Management, edisi Indonesia oleh J.M.A. Tuhuteru, Karya Management
Jakarta : PT. Pembangunan
LW. Porter dan E.E. Lawler, 1968, Managerial
Attitudes and Behavior, Homewood III : Richard D. Irwin
M. Dawam Raharjo, 1990, Etika Ekonomi dan
Manajemen, Yogyakarta : Tiara Wacana,
M. Masyhur Amin (ed.), 1989, Teologi
Pembangunan : Paradigma Baru Pemikiran Islam,Yogyakarta : LPSM-NU DIY
Max Weber, 1958, The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism, New York : Charles Scribner’s Sons
Nurcholish Madjid, 1992, Islam Doktrin dan
Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan
Kemoderenan, Jakarta : Yayasan Wakaq Paramadina
Richard M. Steers, 1985, Organizational
Effectiveness : A Behavioral View, Edisi
Indonesia oleh Magdalena Jamin, Effektivitas Organisasi, Jakarta : Erlangga
Robert
N. Bellah, 1997, Tokugawa Religion, Glencoe : Free Press
Syed Hosein Nasr, 1990, “Pandangan Islam tentang
Etika Kerja”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an edisi 6, volume II, tahun
Victoria Neufeldt (Ed.), 1996, Webster’s New
College Dictionary, USA : Macmillan
[1] Mawardi, adalah Dosen dan Ketua Jurusan Ekonomi Islam
Fakutas Syari’ah dan Ilmu Hukum UIN suska Riau.
[2] “Productive”
diartikan dengan “effective result”. Dalam istilah ekonomi yang
dimaksudkan dengan productive adalah engaged in the creating of
economic value, or the producing of goods and services. Lihat Victoria
Neufeldt (Ed.) Webster’s New College Dictionary, (USA : Macmillan, 1996), hlm
1074.
[3] AS Horby, Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford : Oxford
University Press, 1995), hlm. 758.
[4] B. Berelson dan G.
Steiner, Human Behaviour : An Inventory of Scientific Findings, (New York
: Harcourt, Bruce, 1964), hlm. 240
[5] LW. Porter dan E.E.
Lawler, Managerial Attitudes and Behavior, (Homewood III : Richard D.
Irwin, 1968
[6] Richard M. Steers, Organizational
Effectiveness : A Behavioral View, Edisi
Indonesia oleh Magdalena Jamin, Effektivitas Organisasi, (Jakarta : Erlangga,
1985), hlm 150
[7] J. Ravianto, Produktivitas
dan Manusia Indonesia (Jakarta : Lembaga Sarana Informasi Usaha Produktivitas,
1985), hlm 18
[8] Pandangan Cak Nur
ini menegaskan kembali rumusan filsafat yang dikemukakan oleh August Comte, “Cogito
Ergo Sum”, I Think Therefore I am”, Aku berpikir maka aku ada. Pandangan
Comte lebih bercorak idealistic, di mana aspek ide menjadi barometer bagi
eksistensi. Sedangkan di pihak lain, Islam sedari awal mengajak umatnya untuk
berkarya/bekerja. Sehingga adalah tepat rumusan Cak Nur di atas yang secara
nyata menegaskan bahwa ruang aktualitas
dengan berkarya dan berprestasi menjadi indikator terpenting bagi
eksistensi.
[9] David McClelland,
et.al. The Achievement Motive, (New York, Appleton Century-Crofts, 1953
[10] David Clelland, The
Achieving Society, (New York : The Free Press, 1961)
[11] Januar Muin, “Motivasi
Kerja Sebagai Modal Utama dalam Peningkatan Produktivitas Kerja”, dalam
Firdaus Effendi, et.al (Ed.), Nilai dan Makna Kerja dalam Islam, (Jakarta
: Nuansa Madani, 1999), hlm 45
[12] Firdaus Effendi,
“Motivasi dan Produktivitas Kerja”, dalam Ibid, hal 50-51. Lebih lanjut lihat
M. Dawam Raharjo, Etika Ekonomi dan Manajemen, (Yogyakarta : Tiara Wacana,
1990), hlm 69
[13] Ahmad Kosasih, “Telaah
Islam atas Motivasi Kerja”, dalam Firdaus Efendi, Nilai dan Makna Kerja
dalam Islam, (Jakarta : Nuansa Madani, 1999), hal 27
[14] Ibid, hlm 29
[15] Louis A. Allen, The
Profession of Management, edisi Indonesia oleh J.M.A. Tuhuteru, Karya
Management (Jakarta : PT. Pembangunan, 1963), hlm 67
[16] Naim Nusair adalah
Asisten Profesor pada Department of Public Administration Universitas Yermonk,
Yordanis
[17] Pembicaraan
tersebut lebih tepat disebutkan sebagai lapangan ilmu sosiologi agama. Lihat
dalam buku Religion : The Social
Context (Boston : Wadsworth Publishing Company, 1997), hlm 8
[18] Lihat Clifford
Geertz, “Religion as a Culture System”
dalam Clifford Geertz, Interpretation of Cultures, Selected Essays
(New York : Basic Books, 1973), hlm 90
[19] Lihat Max Weber, The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (New York : Charles
Scribner’s Sons, 1958)
[20] Robert N. Bellah,
Tokugawa Religion (Glencoe : Free Press, 1997)
[21] di kalangan ilmuan
yang mengkritik Geertz adalah Taufiq Abdullah dalam tulisannya, “Tesis Weber
dan Islam di Indonesia”, dalam Taufiq Abdullah (ed.), Agama, Etos Kerja dan
Perkembangan Ekonomi (Jakarta : LP3ES, 1979)
[22] Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemoderenan, (Jakarta : Yayasan Wakaq Paramadina, 1992),
hal 410
[23] Dawam Raharjo, Op.cit,
hlm 93
[24] Bahtiar Effendy, Masyarakat
Agama dan Pluralisme Keagamaan ; Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani
dan Etos Kewirausahaan (Yogyakarta : Galang Press, 2001), hlm 203
[25] Pertanyaan serupa
pernah dilontarkan oleh Abdul Munir Mulkhan, kalau Islam dianut oleh pemeluk
terbesar di Indonesia dan secara realitas merekalah yang mendapatkan prediket
keter-belakangan, maka muncul pertanyaan, Siapakah yang salah ? Apakah ulama
salah dalam beragama atau cara orang beragama yang salah, tetapi kenapa salah
dalam beragama ? ini yang menurutnya harus dijawab dalam teologi pembangunan.
Jadi menurutnya kita tidak bisa melemparkan tanggung jawab bahwa itu salah
orang dalam beragama, salah orang dalam melakukan shalat, salah orang memahami
fiqh dan agamanya, kalau tidak hendak agama itu ditinggalkan oleh masyarakat.
Lihat M. Masyhur Amin (ed.), Teologi Pembangunan : Paradigma Baru Pemikiran
Islam (Yogyakarta : LPSM-NU DIY, 1989),
hlm 28
[26] Lihat Bahtiar
Effendi, Op.cit, hlm 202
[27] Pembicaraan tentang
teologi jenis ini pernah digagas oleh Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (LKPSM) NU DIY dalam bentuk seminar yang bertajuk “Teologi
Pembangunan” pada tanggal 25-6 Juni 1987 di Wisma Hastorenggo, Kaliurang
Yogyakarta. Dalam seminar tersebut Ahmad Ludjito, Ka Balitbang Depag RI
berpendapat bahwa teologi pada dasarnya hendaknya mampu menjadikan diri untuk
berperan sebagai mobilisator pembangunan. Artinya, Teologi harus mampu memberikan
rumusan etos kerja yang dinamik-kreatif dan religius yang sanggup secara sosial
ekonomi dan budaya melahirkan tingkat produktivitas kerja yang tinggi sehingga
memperlancar proses pembangunan.
[28] Dalam perspektif
Islam, Tuhan, manusia dan alam semesta merupakan kesatuan konsepsi teologis.
Manusia sebagai abdi-Nya harus hidup utuh tauhidiyah. Karena itu,
manusia yang sebagai abdi dan sekaligus dinyatakan berkeimanan didalam seluruh
aktivitas pembangunan bagi kemakmuran dunianya. Lihat lebih lanjut Kusmin
Busyairin, “Analisis Kritik terhadap
Pemikiran Teologi Klasik”, hal 18.
menurut Lukman Sutrisno mengubah Teologi bukan berarti mengubah agama,
sebab kalau mengubah agama kita menjadi atheis.
Yang dituntut adalah membuat Teologi itu menjadi relevan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan manusia Indonesia yang akan menjadi modern.
[29] Syed Hosein Nasr,
“Pandangan Islam tentang Etika Kerja”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an edisi
6, volume II, tahun 1990