KAMI KELUARGA BESAR JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM SELAMAT DATANG KEPADA TIM ASESOR JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM FDIK UIN SUSKA RIAU.
Kamis, 01 Agustus 2013


MORAL DAN AGAMA REMAJA
(Suatu Tinjauan Psikologis)

     Rosmita, M.Ag[1]

                                                 Abstrak

Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat bahkan seringkali bagi polisi. Hal ini disebabkan masa remaja yang merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi ini seringkali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dilain pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa. Seorang remaja sering membantah orang tuanya karena ia mulai punya pendapat-pendapat sendiri. Islam memberikan ukuran dan nilai-nilai dasar moral, untuk
membimbing dan mengendalikan seluruh kehidupan manusia.


A.      Pendahuluan
Remaja masa kini menaruh minat pada agama menganggap bahwa agama berperan penting dalam kehidupan. Minat pada agama antara lain tampak dengan membahas masalah agama. Mengikuti perjalanan-perjalanan agama di sekolah dan diperguruan tinggi, menguji tempat ibadah dan mengikuti berbagai upacara agama.
Moralitas umat manusia yang semakin kompleks, bahkan melupakan sendi-sendi ajaran keagamaan, merupakan dekadensi moral yang kian hari semakin butuh kepada bimbingan rohani dan nilai-nilai etika di antara manusia  yang dimungkinkan mampu mengobati trauma kehidupan era modern yang semakin canggih dan tidak lagi menyentuh nilai-nilai manusiawi sebagaimana yang diharapkan semua lapisan masyarakat. Nilai-nilai rohani tersebut kata al-Maududi dapat ditempuh dengan cara saling membantu (nasehat menasehati sesama manusia sebagai saudara) . syari’at ilahi juga harus disebarkan kepada setiap pribadi, termasuk dikalangan para generasi muda sehingga memungkinkan manusia bersatu dalam  merenungkan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi tujuan akhir manusia.[2]
Islam memberikan ukuran dan nilai-nilai dasar moral, untuk membimbing dan mengendalikan seluruh kehidupan manusia. Islam memberikan kode etik dan tindak tanduk menyeluruh untuk individu dan menunjuk cara untuk sampai kepada keagungan moral setinggi mungkin, memberikan dasar-dasar moral sebagai tempat membangun masyarakat yang benar-benar baik. Bisa diterima sebagai dasar tindak tanduk pribadi atau golongan, dapat menyelamatkan kehidupan manusia dari kekacauan dan anarkis.
Menurut Maududi dan ia juga menegaskan bahwa untuk membentuk iman yang benar dan moral yang kuat harus dimulai dari pengucapan kata: la Ilaha illallah, Muhammmadurrasulullah, dengan mengucapkan kata-kata ini, orang diharapkan berubah secara radikal [3] Proses perubahan yang diinginkan Maududi dalam  hal ini adalah bahwa dengan kekuatan kalimah syahadah tersebut, pengaruhnya bisa melampaui ikatan darah (tali persaudaraan).[4] Orang yang semula yang beragama kristen bisa saja memutuskan hubungan silaturrahmi dengan anggota-anggota keluarganya. Kalimat tauhid tersebut juga bisa menyatukan orang asing kedalam satu bangsa, seiman dan seagama.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan mempercepat lajunya pertumbuhan ekonomi umat manusia telah menyebabkan sibuknya dunia telekomunikasi dan industralisasi, berpacu dengan waktu, berpacu dengan kemajuan, bahkan berpacu dalam memperkaya diri dengan seperangkat alat canggih yang bermunculan belakangan ini, tanpa memperdulikan nilai-nilai etika yang dulunya selalu dielu-elukan.
Anak dalam perkembangan kepribadiannya selalu membutuhkan seorang tokoh identifikasi. Identifikasi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan seorang lain. Pada anak, biasanya tokoh yang ingin disamai (tokoh identifikasi) adalah ayah atau ibunya. Dalam proses identifikasi ini, anak mengambil alih (biasanya dengan tidak disadari oleh anak itu sendiri) sikap-sikap, norma dan sebagainya dari tokoh identifikasi. Jadi dalam proses identifikasi anak tidak saja ingin menjadi identik secara lahiriah, tetapi justru secara bathin. Anak-anak yatim piatu tidak mempunyai tokoh identifikasi tertentu, sehingga perkembangan kepribadian yang kurang sempurna, mudah terpengaruh, mudah terjerumus dalam kenakalan atau kejahatan. Untuk menghindari hal ini sebaiknya anak-anak seperti itu diberi tokoh identifikasi pengganti (nenek, paman, pengasuh panti asuhan).[5]
Orang tua harus terus mengawasi dan menemani perkembangan jiwa dan mental anak. Karena jika si anak saleh, orang tuanya pula yang akan memetik hasilnya. Hadis Rasul:”Bila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: (1). Sedekah jariah, (2). Ilmu yang bermanfaat, (3). Anak yang saleh yang mendoakannya.”(HR Muslim)
Pesan akan pokok-pokok tauhid yang harus diberikan kepada anak bila telah berakal dan dapat membedakan baik dan buruk, “Wahai bocah, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat/pesan. Yaitu: Peliharalah Allah Swt. tentu Allah akan memelihara kamu. Peliharalah Allah, kamu akan mendapatiNya di depanmu. Bila kamu memohon, memohonkanlah kepada Allah. Dan bila me minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, suatu umat, kalau sekiranya berkumpul untuk memberi manfaat kepadamu, tentu mereka tidak akan dapat memberi manfaat kepadamu kecuali sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah kepadamu. Dan kalau sekiranya mereka berhimpununtuk membuatmu celaka, mereka tidak akan dapat membuatmu celaka sama sekali, kecuali sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah kepadamu. Pena telah kering dan buku telah diangkat (tidak ada gunanya/manfaatnya apabila orang sudah meninggal dunia).”(HR Ahmad, al-Tirmidzi dan al-Hakim, hadis sahih) 
Berkaitan dengan pendidikan dan penanaman akhlak pada anak, Rasulullah Saw bersabda,”Didiklah anak-anak kalian, sesungguhnya mereka diciptakan menjadi generasi yang berbeda dengan generasi zaman kalian.” (HR Tirmidzi)
Manusia memang bukan makhluk instrinktif secara utuh, sehingga ia tidak mungkin berkembang dan tumbuh secara instringtif sepenuhnya. Makanya, menurut W. H Clark, bayi memerlukan persyaratan tertetu, pengawasan serta pemeliharaan yang terus menerus sabagai latihan dalam pembentukan kebiasaan dan sikap-sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinan untuk berkembang secara wajar dalam kehidupan dimasa mendatang.[6]

B.       Perkembangan Remaja
Remaja berasal dari kata adolescence yang bahasa latin yang berarti to grow up to manurity, berarti tumbuh dan berkembang menuju ke arah kematangan, tumbuh dari kanak-kanak menjadi dewasa.[7]
Sebelum anak-anak menginjak remaja,  anak selalu belajar untuk mencapai pelbagai keterampilan; anak pemberani dan senang mencoba hal-hal baru, dan anak belajar mematuhi peraturan secara otomatis melalui hukuman dan pujian dan juga dinamakan masa penegakan disiplin dengan cara  yang berbeda dan lingkungannya sudah semakin luas.[8] Pada masa kanak-kanak ini mereka selalu menjadikan orang tua atau orang yang terdekat sebagai panutan atau tokoh yang mereka sangat kagumi dan mereka contohi. Karena mereka sangat berperan dalam sosialisasi anak dan perkembangan konsep diri, dalam tingkat kepentingan yang berbeda.
Dalam perkembangan anak tersebut beberapa tokoh seperti Imam Ghazali yang selalu berpesan untuk anak-anak agar jangan berbicara kotor, mengutuk, mencaci dan melakukan hal-hal yang jelek lainnya. Semua ini agar anak dalam memasuki usia remaja mereka sudah dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat mereka, baik dalam pergaulan, maupun dalam beretika.
Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu yang bersangkutan, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat bahkan seringkali bagi polisi. Hal ini disebabkan masa remaja yang merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi ini seringkali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dilain pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa. Seorang remaja sering membantah orang tuanya karena ia mulai punya pendapat-pendapat sendiri.[9]
Masa remaja yang berlangsung dari saat individu menjadi matang secara seksual sampai usia delapan belas tahun usia kematangan yang resmi dibagi ke dalam awal masa remaja, yang berlangsung sampai usia tujuh belas tahun, dan akhir masa remaja yang berlangsung sampai usia kematangan yang resmi.
Menghadapi remaja, orang tua secara bijaksana harus sedikit demi sedikit melepaskan kontrolnya, agar anak tersebut benar-benar dapat berdiri sendiri kalau dewasa, orang tua yang mau mempertahankan  otoritasnya meskipun anak sudah dewasa, akan menghadapi kenyataan bahwa anak tersebut selamanya akan tetap tergantung pada orang tuanya, tidak pernah menjadi dewasa sepenuhnya dalam kepribadiannya.
Perubahan sosial yang penting dalam masa remaja meliputi meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, pola prilaku sosial yang lebih matang, pengelompokan sosial baru dan nilai-nilai baru dalam pemilihan teman dan pemimpin, dan dalam dukungan sosial.
Masa dewasa yang beralih dari masa remaja ini juga merupakan  masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif, yaitu suatu masa yang penuh masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas, dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Masa dewasa dini, dari umur delapan belas hingga lebih kurang empat puluh tahun.
Penyesuaian keluarga dan pekerjaan, khususnya pada masa dewasa dini, sangat sulit karena kebanyakan orang dewasa muda membatasi dasar-dasar yang dengannya ia membangun penyesuaian karena pembaruan (newness) peran-peran yang dituntut penyesuaian diri. Ketika ia menikahpun ia akan membatasi dan berusaha untuk mencari pasangan yang menurutnya sesuai dengan statusnya.
Apabila ia seorang muslim, tentunya ia akan berusaha untuk menjalankan aturan-aturan yang ada dalam agama Islam. Ketika ia memiliki keyakinan keagamaan yang kuat dalam dirinya, apapun yang ia lakukan berdasarkan aturan keyakinan yang ia miliki. Islam mempunyai satu motto yang tercantum dalam suatu hadis dan menjadi panduan bagi kehidupan muslim.[10] Hadis Nabi Saw itu berbunyi, “Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu, seolah-olah engkau akan mati besok.”(HR Ibnu Asakir).
Peran orang tua dalam hal ini untuk selalu mengontrol dan lebih dekat kepada anak dalam masa kedewasaannya. Masa seperti ini menjadikan anak banyak bertindak di luar kontrol dirinya, dan didikan orang tua sangat membantu anak khususnya selalu melihat tingkah laku yang berubah dari kepribadiannya. Anak juga akan lebih membatasi dirinya dari pergaulan jika orang tua selalu ada di pihaknya.

C.      Perkembangan Moral remaja
Moral diambil dari bahasa Latin Mos (jamak, mores) yang berarti kebiasaan, adat. Sementara moralitas secara lughawi juga berasal dari kata mos bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti kebiasaan, adat istiadat. Kata bermoral mengacu pada bagaimana suatu masyarakat yang berbudaya berprilaku, dan kata moralitas juga merupakan kata sifat latin moralis mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan moral hanya ada nada lebih abstrak. Kata moral dan moralitas memiliki arti yang sama, maka dalam pengertian di sini lebih ditekankan pada penggunaan moralitas, karena sifatnya yang abstrak. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.(Berten, 2007:7)
Adapun Nilai-nilai moral itu seperti:
1.      Seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memlihara ketertiban dan keamanan, memeliahra kebersihan dan memlihara hak orang lain dan
2.      Larangan mencuri , berzina, membunuh, minum-minuman keras dan berjudi.
Seorang dapat dikatakan bermoral apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompom sosial. Sehingga tugas penting yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk prilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi , didorong dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kelompok moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi prilakunya. Tidak kalah pentingnya, sekarang remaja harus mengendalikan prilakunya sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggun jawab orang tua dan guru. Mitchell telah meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja yaitu:
1.      Pandangan moral individu semakin lama  semakin menjadi lebih abstrak dan kurang konkrit.
2.      Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang  benar dan kurang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3.      Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Ia mendorong remaja lebih berani menganalisis kode sosial dan kode pribadi dari pada masa anak-anak dan berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
4.      Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5.      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketenangan psikologis.
Pada masa remaja, laki-laki dan perempuan telah mencapai apa yang oleh piaget disebut tahap pelaksanaan formal dalam kemampaun kognitif. Sekarang remaja mampu mempertimbangkan semua kemungkianan untuk menyelesaikan suatu masalah dan mempertanggung jawabkannya berdasarkan suatu hipotesis atau proporsi. Jadi ia dapat memandang masalahnya dari berbagai sisi dan menyelesaikan dengan mengambil banyak faktor sebagai dasar pertimbangan.
Menurut Kohhlberg, tahap perkembangan moral ketiga, moral moralitas pasca konvensional harus dicapai selama masa remaja. Tahap ini merupakan tahap menerima sendiri sejumlah prinsip dan terdiri dari dua tahap. Dalam tahap pertama individu itu yakin bahwa harus ada kelenturan dalam keyakinan moral sehingga dimungkinkan adanya perbaikan dan perubahan standar apabila hal ini menguntungkan anggota-anggota kelompok secara keseluruhan. Dalam tahap kedua individu menyesuaikan dengan standar sosial dan ideal yang diinternalisasi lebih untuk menghindari hukum terhadap diri sendiri dari pada sensor sosial. Dalam tahap ini, moralitas didasarkan pada rasa hormat kepada orang-orang lain dan bukan pada keinginan yang bersifat pribadi.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
1.      Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
2.      Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan kedalam kode moral sebagai kode prilaku.
3.      Melakukan pengendalian terhadap  prilaku sendiri.
Perkembagnan moral adalah salah satu topik tertua yang menarik minat mereka yang ingin tahu mengenai sifat dasar manusia. Kini kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat mengenai tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, tingkah laku etis dan tidak etis, dan car-cara yang harus dilakukan untuk mengajarkan tingkah laku yang dapat diterima dan etis kepada remaja.
Perkembangan moral berhubungan dengan peraturan –peraturan dan nilai-nilai mengenai pada yang harus dilakukan seseorang dalam interaksinya dengan orang lain. anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral. Tetapi dalam dirinya terdapat potensi yang siap untuk dikembangkan. Karena itu melalui peng alamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudaranya, dan teman-temannya) anak belajar memahami tentang prilaku mana yang baik dan mana yagn boleh dikerjakan dan tingkahlaku mana yang buruk yang tidak boleh dilakukan.
Teori psikoanalisis tentang perkembangan moral menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa  dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga  yaitu ID, EGO dan SUPER EGO. ID adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irasional dan tidak disadari. EGO adalah struktur kepribadian yang terdiri dari aspek psikologis yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. SUPER EGO adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral yang benar-benar memperhitungkan “benar” atau “salah” tentang sesuatu.
Hal penting lain dari teori perkembangan moral Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam fikiran  dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, Akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya

D.      Perkembangan Keagamaan Remaja
 Latar belakang kehidupan beragama remaja dan ajaran agamnya berkeanaan dengan hakekat dan nasib manusia,  memainkan peranan penting dalam menetukan konsepnya tentang apa dan siapa dia, dan akan menjadi apa dia. Agama seperti yang kita temukan dalam kehidupan sehari-hari terdiri atas suatu sistem tentang keyakinan-keyakinan, sikap-sikap dan praktek-pratek yang kita anut, pada umumnya berpusat pada pemujaan.
Disudut pandang individu yang beragama, agama dalaha sesuatu yang menjadi urusan terakhir baginya. Artinya bagi kebanyakan orang, agama merupakan jawaban terhadapa kehausannya akan kepadtian, jaminan, dan keyakinan tempat mereka meletakkan dirinya dan untuk menopang harapan-harapannya.
Dari sudut pandang sosial, seseorang berusaha melalui agamanya untuk memasuki hubungan-hubungan bermakna dengan orang lain, mencapai komitmen yang ia pegang bersama dengan orang lain dalam ketaatan yang umum terhadapnya. Bagi kebanyakan orang agama merupakan dasar terhadap falsafah hidupnya.
Penemuan lain menunjukkan bahwa sekalipun pada masa remaja banyak mempertanyakan kepercayaa-kepercayaan keagamaan mereka, namun pada akhirnya kembali lagi kepada kepercayaan tersebut. Banyak orang yang pada usia dua puluhan dan tiga puluhan, takkala mereka sudah menjadi orang tua, kembali melakukan praktek-praktek yang sebelumnya mereka abaikan.
Bagi remaja, agama memiliki arti yang sama pentingnya dengan moral. Bahkan, sebagaimana dijelaskan oleh Adams dan Gullotta agama memberikan sebuah kerangka moral, sehingga membuat seseorang mampu membandingkan tingkah  lakunya. Agama dapat menstabilkan tingkah laku dan bisa memberikan penjelasan mengapa dan untuk apa seseorang ada didunia ini. Agama memberikan perlindungan rasa aman, terutama bagi remaja yang tengah mencari eksistensi dirinya.
Dibandingkan dengan masa awal anak-anak misalnya, keyakinan agama remaja telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Kalau pada masa awal anak-anak ketika mereka baru memiliki kemampuan berfikir simbolik. Tuhan dibayangkan sebagai person yang berada diawan, maka pada masa remaja mereka mungkin berusaha mencari sebuah konsep yang lebih mendalam tentang Tuhan dan eksistensinya. Perkembangan pemahaman remaja terhadap keyakinan agama ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan kognitifnya.
Oleh karena itu meskipun pada masa awal anak-anak ia telah diajarkan agama oleh orang tua mereka, namun karena pada masa remaja mereka mengalami kemajuan dalam perkembagnan kognitif, mereka mungkin mempertanyakan tentang kebenaran keyakinan agama mereka sendiri. Sehubungan dengan pengaruh perekembangan kognitif terhadap perkembangan agama selama masa remaja ini.
Dalam suatu studi yang dilakukan Goldman(1962) tentang perkembangan pemahaman agama anak-anak dan remaja dengan latar belakang teori perkembangan kognitif piaget, ditemukan bahwa perkembangan pemahaman agama remaja berada pada tahap 3 yaitu formal operational religious thought. Dimana remaja memperlihatkan pemahaman agama yang lebih abstrak dan hipotesis. Penelitian  lain juga menemukan perubahan perkembangan yang sama pada anak-anak dan remaja. Oser dan Gmunder 1991 (dalam santrock 1998) misalnya menemukanb bahwa remaja usia sekitar 17 tahun atau 18 tahun makin meningkat ulasannya tentang kebebasan, pemahaman, dan pengharapan konsep-konsep abstrak ketika membuat pertimbangan tentang agama. Apa yang dikemukakan tentang perkembangan dalam masa remaja ini hanya merupakan ciri-ciri pokoknya saja.
James Fowler (1976) mengajukan pandangan lain dalam perkembangan konsep religius. Indiduating-reflexive faith adalah tahap yang dikemukakan Fawler, muncul pada masa remaja akhir yang merupakan masa yang penting dalam perkembangan identitas keagamaan. Untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, individu memiliki tanggung jawab penuh atas keyakinan religius mereka. Sebelunya mereka mengandalkan semuanya pada keyakinan orang tuanya.
Salah satu area dari pengaruh agama terhadap perkembangan remaja adalah kegiatan seksual. Walaupun keanekaragaman dan perubahan dalam pengajaran menyulitkan kita untuk menentukan karakteristik doktrin keagamaan, tetapi sebagian besar agama tidak mendukung seks pranikah.
Oleh karena itu, tingkat keterlibatan remaja dalam organisasi keagamaan mungkin lebih penting dari pada sekedar keanggotaan mereka dalam menentukan sikap dana tingkahlaku seks pranikah mereka. Remaja yang sering menghadiri ibadat keagamaan dapat mendengarkan pesan-pesan untuk menjauhkan diri dari seks.
Sejalan dengan perkembangan kesadaran moralitas, perkembangan penghayatan keagamaan yang erat hubungannya dengan perkembangan intelektual disamping emosional dan volisional (Konatif) mengalami perkembangan.
Para ahli umumnya (Zakiah Darajat, Starbuch, William Jemas) sependapat bahwa pada garis besarnya perkembangan penghayatan keagamaan itu dapat dibagi dalam tiga tahapan yang secara kualitatif menunjukan karakteristik yang berbeda. Adapun penghayatan keagamaan remaja adalah sebagai berikut:
1.      Masa awal remaja (12-18 tahun) dapat dibagi kedalam dua sub tahapan sebagai berikut:
a.      Sikap negatif (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang –orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuannya dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya.
b.      Pandangan dalam hal ketuhananya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain.
c.       Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan malakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukan dengan kepatuhan.
2.      Masa remaja akhir yang ditandai antara lain oleh hal-hal berikut ini.
a.      Sikap kembali pada umumnya kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelang dewasa.
b.      Pandangan dalam hal ke-tuhanannya dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya.
c.       Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses indentifikasi dan ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih dan yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyokyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.
Menurut Wagner (1970) banyak remaja menyelidiki agama sebagai suatu sumber dari suatu ransangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerimanya secara begitu saja. Mereka meragukana agama bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis. Melainkan karena ingin menerima agama sebgai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mareka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
E.       Penutup
Seseorang dapat dikatakan bermoral, apabila tingkah  laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang di junjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Sehingga tugas penting  yang harus dikuasai remaja adalah menpelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya.
Ada tiga tugas pokok remaja dalam mencapai moralitas remaja dewasa, yaitu:
a.      Mengganti konsep moral khusus dengan konsep moral umum.
b.      Merumuskan konsep moral yang baru dikembangkan ke dalam kode moral sebagai kode prilaku.
c.       Melakukan pengendalian terhadap prilaku sendiri.

Daftar Pustaka
Abul A’la al-Maududi, al-Ummah al-Islamiyah wa Qadhiyyah al-Qaumiyah, Mesir, Dar-al Anshar, 1981
Hartati Netty, Islam dan Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. New York: McGraw-hill, Inc 1980
Nurihsan Juntika. 2007. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Sekolah Pasca Sarjana UPI
Psnuju Panut. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya
Santrock John W. 1996. Adolescence(Perkembangan Remaja). The University Of At Dallas: Times Morror Higther Education
Santrock John W. 1983. Life-Span Developmant(Perkembagnan Masa Hidup). Universitu Of Texas At Dallas: Brown and Beach-mark
Yusuf Syamsu. 2007. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda Karya
Walter Housten, The Psychology Of Religion, The Mac millan, Canada, 1942









[1] Rosmita, adalah  Dosendan Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Suska Riau,
[2] Abul A’la al-Maududi, al-Ummah al-Islamiyah wa Qadhiyyah al-Qaumiyah, Mesir, Dar-al Anshar, 1981, hlm. 162
[3] Ibid,hlm.77
[4] Ibid,hlm.78
[5] Netty Hartati , Islam dan Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 29
[6] Walter Housten, The Psychology Of Religion, The Mac millan, Canada, 1942,    hlm. 2
[7] Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan. New York: McGraw-hill, Inc 1980, hlm. 13
[8] Netty Hartati , Op.Cit, hlm.33-34
[9] Op.Cit, hlm.31
[10] Op.Cit, hlm.43-45